Sabtu, 28 November 2009

TUGAS II

ANALISIS TENTANG NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

Demokrasi dan Negara Hukum
Negara hukum menurut Nukhtoh Arfawie Kurde, adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat (dewan Perwakilan Rakyat). Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berdasrkan hukum. Menurutnya, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Negara demokrasi menurut Mohd. Mahfud MD, dalam bukunya Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi menyatakan bahwa negara hukum adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Immanuel Kant menggambarkan negara hukum sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat jangan diganggu atau dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan. Teori pemikiran Immanuel Kant ini dapat dikatakan sebagai teori pemikiran negara hokum liberal.
Internasional Commision of Juris yang merupakan suatu organisasi hokum internasional, dala konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, mengadakan perumusan kembali terhadap perumusan negara hokum yang telah berkembang sebelumnya, terutama konsep the rule of law, dengan memperbaiki aspek dinamika dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks itu dirumuskan tentang pengertian dan syarat bagi suatu negara hokum/pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law sebagai berikut :
1. adanya proteksi konstitusional
2. pengadilan yang bebas dan tidak memihak
3. pemilihan umum yang bebas dan tidak memihak
4. kebebasan untuk menyatakan pendapat
5. kebebasan berserikat/beroranisasi dan beroposisi
6. pendidikan kewarganegaraan.

Membahas tentang negara hokum juga tidak terlepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Adapun hubungan negara hokum dan demokrasi menurut Mohd. Mahfud MD, pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hokum-hukum yang berwatak dan berkarakter deokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter atau non demokratis akan lahir hokum-hukum non demokratis.

Peran Negara
Negara berdasarka teori kemunculannya adalah merupakan alat kekuasaan yang mempunyai kekuatan memaksa untuk menjalankan kewajibanya terhadap masyarakat. Negara dalam melaksanakan tugas dan perannya tentunya tidak terlepas dari interaksi dengan masyarakat. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara mempunyai kekuatan untuk memaksa bagi siapa saja. Negara tidak akan berjalan bila tidak ada aparatur pemerintahannya. Dengan kata lain negara berada dalam keadaan mati atau diam.
Dalam realitasnya peran negara dipengaruhi oleh kepentingannya dalam usaha pengembangan ekonomi. Negara dapat melakukan kekerasan dalam mewujudkan kepentingannya. Teori negara hokum sendiri dipengaruhi oleh langkah gerak laju negara dalam mewujudkan kepentingan ekonominya. Dalam negara huum liberal, menyatakan bahwa negara haruslah pasif, artinya bahwa peran negara hanya sebagai penjaga malam. Sedangkan dalam usaha kesejahteraa masyarakat negara tidak perlu untuk ikut campur di dalamnya.
Adam Smith melalui teori ekonominya mengatakan bahwa negara tidak boleh mengintervensi dalam kepentingan masyarakat dalam usahanya untuk melakukan aktifitas eknomi, menurutnya pengatura ekonomi akan diatur dengan sendiri oleh tangan-tangan yang tidak tampak (the invisible hands) artinya menurut teori ini, biarkan sendiri pasar yang akan mengatur tentang ekonomi masyarakat.
Lain halnya dengan teori negara hokum materiil, teori ini dipengaruhi oleh pemikran-pemikiran sosialis. Menurut teori ini negara berkewajiban dalam hal kesejahteraan masyarakat, atau dengan kata lain bahwa negara mempunyai peran dalam hal untuk mencampuri perekonomian masyarakat untuk mencapai tujuannya demi kesejahteraan rakyat. Karena paham sosialis menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, akan menindas masyarakat yang tidak berdaya. Oleh karena itu diperlukan campur tangan dari negara untuk mencegah terjadinya kesewenangan yang akan terjadi pada masyarakat lemah. Pemikiran sosialis ini muncul manakala berkembangnya paham kapitalis yang dianggap dapat menindas bagi mereka yang lemah dan tidak memiliki kekuatan (kekuasaan). Untuk menjalankan kepentingannya negara dapat menggunakan instrumen-instrumen hukumnya, yang dapat dipaksakan bagi masyarakat.
Kekerasan dapat saja dilakukan oleh negara untuk mencapai kepentingannya tersebut. Pengaruh yang cukup besar dalam arah kebijakan negara adalah adanya keberpihakan negara pada kelompok-kelompok tertentu.

Masuknya Kapitalisme ke Indonesia
Kapitalisme yang berwatak dengan adanya akumulasi kapita, telah membuat negara ini mengaami krisis akan lahan ekonomi. Akhirnya ekspansi pasar pun dilaukan utuk terus bertahan. Kapitalisme dapat menggunakan peran negara dan hokum untuk untuk melegitimasi kekuasaannya. Selain itu, metamorfosa yang diakukannya teah menjadikan kontradiksi yang semakin tumpul alam realita social dan politik. Ekspansi yang dilakukannya, telah memaksa untuk melakukan usaha-usaha kolonialisasi di negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang. Dampak dari ekspansi yang dilakukan sampai kepada bentuk kekerasan yang nyata.
Masuknya Belanda ke Indonesia, adalah seagai betuk ekspansi kekuasaan yang dilakukan oleh negara kapitalis untuk mencapai keinginannya tersebut. Perang secara ideology bermunculan ketika abad ke 17. penjajahan adalah merupakan bentuk dari kekerasan yang sangat nyata dilakukan demi mencapai kepentingannya.
Sejak abad ke-19, institusi-institusi negara didirikan untuk kekerasan, dan karenanya, ekspansi kolonialisme ke Indonesia pun sarata dengan penggunaan kekerasan. Menurut Norholt, ada dua gelombang besar kekerasan Belanda yang diinstitusionalkan ke Indonesia, yakni; (1) akhir abad ke-17 ketika VOC memonopoli perdagangan dengan menaklukkan kawasan-kawasan strategis seperti Malaka, Makassar dan Banten. Dibandingkan dengan Portugis, misalnya VOC lebih banyak menggunakan kekerasan destruktif untuk menancapkan hegemoninya.
Kedua, gelombang kekerasan kedua terjadi antara tahun 1871 dan 1910, Indonesia mengalami ekspansi imperialisme dari peraturan kolonial. Pada periode ini, perlawanan rakyat sangat besar atas kekerasan yang dilakukan oleh kolonial Belanda karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan kapitalismenya. Pasca Belanda keluar dari Kolonial karena di usir oleh Jepang, Belanda terus mempertahankan ideologinya dengan mendapatkan bantuan dari negara yang sama-sama memiliki ideology yang sama, yakni sekutu. Munculnya tentara NICA yang memboncengi kembali Belanda ke Indonesia adalah bukti bahwa semangat kapitalisme untuk menguasai negara dunia ke tiga (3) sangatlah besar.
Soeharto dengan regulasinya, mempertahankan adanya investasi asing demi kepentingan untuk pembangunan. Melalui undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA), adalah salah satu bentuk bahwa kapitalisme terus mencoba mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Akibat eksploitasi alam yang cukup besar, menyebabkan terjadinya ketimangan secara social yang terjadi pada daerah-daerah yang didirikan investasi asing tersebut.
Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh serta Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah merupakan bukti keburukan dari kebijakan kapitalisme. Soeharto terus mempertahankan investasi asing dengan menggunakan unsure aparatur negaranya. Sehingga pemerintahannya dikatakan sebagai pemerintahan yang otoriter. Tidak adanya kompromi terhadap para pihak yang dapat mengganggu kepentingan kekuasaannya. Pendekatan secara militeristik kerap dilakukan apabila ada pihak-pihak yang dapat mengancam kekuasaannya.

Peran Kontrol Media
Media massa adalah merupakan produk yang dibuat untuk kepentingan publik. Media berfungsi sebagai alt kontrol kekuasaan. Pada masa Orde Baru, media tidak bebas dalam perannya untuk menyuarakan kepentingan publik. Pada masa Orde Baru media diarahkan untuk tidak bisa bebas. Media yang dapat mengancam kekuasaan negara, mengalami baying-bayang akan adanya pembredelan.
Pada masa Orde Baru, media terus dikontrol oleh Departemen Penerangan. Bagi media-media yang tidak “patuh”, ancaman akan menyertai mereka. Tempo, Detik dan beberapa media massa lainnya yang pernah dicabut izinnya adalah merupakan wujud dari kekerasan negara yang dilakukan terhadap media. Terkekangnya peran media menjadikan mereka terpaksa harus mau “bekerjasama” dengan pemerintahan yang berkuasa.
Namun, pada masa Orde Baru tumbang, Pers semakin bebas dalam melakukan aktifitasnya. Kebebasan Pers yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik ini, malah dalam realitanya tidak ada perkembangan yang signifikan. Bahkan, menurut, pemerintah Pers ketika masa reformasi sangat bebas, bahan menurut yang diutarakan oleh ketua Aliansi Jurnalis Independen, Bambang NBK, mengatakan bahwa “dengan adanya undang-undang pers sekarang ini sebetulnya terlalu memberikan kebebasan kepada pers, sehingga selalu ada saja suara-suara dari pemerintah untuk melakukan amndemen itu. Dulu semasa Megawati berkuasa, dia berkali-kali mengatakan bahwa pers sudah kebablasan, nah ini adalah indikasi bahwa sebetulnya pemerintah juga agak gerah ketika setiap hari mereka mendapat kritikan dari media massa” ujarnya kepada keadilan.
Masduki menyakan bahwa idealnya pers itu menjadi Watch dog atau anjing penjaga, artinya bahwa ia menjadi pengontrol setiap kebijakan dari pemerintah. “media harus bisa menjadi watch dog untuk mengkritisi kebijakan negara,” ujar Masduki yang sekaligus sebagai Dosen Komunikasi UII ini. Menurut Masduki media harus berpihak kepada nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
Kebebasan yang ada pada media, namun tidak diikuti dengan upaya untuk membangun kapsitas demokrasi yang semakin membaik. Di satu sisi, peran media masih terus dipertahankan kebebasannya. Adanya kebebasan ini justru peran media larut dengan tayangan-tayangan yang justru menguntungkan medianya secara ekonomi. Media, seharusnya berpihak pada kepentingan umum (publik), idealnya seperti itu. “jadi dia (media) ada utuk memberikan informasi kepada masyarakat, supaya masyarakat itu dapat membuat kebijakan untuk mengatur dirinya sendiri, inti daripada jurnalisme itu sebenarnya” ungkap Bambang yang sekaligus sebagai ketua AJI ini.
Dengan adanya kebebasan pers, semakin banyak realitas yang kita lihat justru tidak memberikan pengaruh yang positif bagi masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya acara-acara yang justru tidak untuk kepentingan publik, tetapi lebih kepada privasi dan sensasional semata. Misalnya adanya tayangan-tayangan infotainmen yang semakin membuat masyarakat larut dalam konstruksi pemikiran media. Selain karena menguntungkan bagi perusahaan, juga media terlarut dengan adanya kebebasn pers tersebut. Aliansi Jurnalis Indepenen (AJI) menilai bahwa infotainment adalah bukan produk Jurnalistik. “kalau kami AJI sepakat bahwa infotainment itu bukan produk jurnalistik, karena infotainment itu tidak menggali apa yang menjadi kepentingan publik” Ujar Bambang saat ditemui di kantornya. “Jadi jurnalisme itu sebenarnya hanya memberitakan persoalan-persoalan yang menjadi kepentingan publik” tambahnya lagi.
Adanya kepemilikan modal pada media juga telah menjadikan media hanya mementingkan persoalan yang menguntungkan terhadap perusahaannya. Secara kasus, kita melihat media-media yang tidak mau memberitakan yang terkait dengan perusahaannya. Letak independensinya kemudian dipertanyakan dalam hal ini. Terkait dengan independensi dari media, AJI menilai bahwa independesi harus dilihat per kasus, karena menurutnya, independensi itu ibarat ruangan yang besar yang banyak ruang-ruangnya. Bambang mencontohkan, “di Bali ada sebuah Koran yang termasuk dalam keluarganya Bakrie Group, Koran itu tidak pernah menulis tentang persoalan Lapindo. Itu kasus, tetapi di ruang yang lain misalnya untuk mengkritisi bagaimana kebijakan pemerintah di Bali, mungkin ia independen. Jadi independen tidak dapat dilihat secara umum tapi kasus per kasus” ujarnya.

PERWUJUDAN NEGARA HUKUM DI INDONESIA


Di dalam negaa hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan.
Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
• Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
• Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
• Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
• Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
• Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
• Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
• Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen), kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.

Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.

Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
• Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana ter-akhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.

Rabu, 02 September 2009

Pancasila sebagai Ideologi


Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.(definisi ideologi Marxisme).

Definisi Ideologi

Definisi memang penting. Itu sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar:

Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep.

Karena itu menurut beliau, sama pentingnya dengan silogisme (baca : logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.

Mabda’ secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )[dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, entry al-Mabda’]. Al-Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan tepi kitab Ususun Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36]

Definisi lain

Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi:

  • Wikipedia Indonesia:

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.

Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu.

Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia.

Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.

  • Thomas H:

Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.

  • Francis Bacon:

Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup.

  • Karl Marx:

Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.

  • Napoleon:

Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya.

Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya?

  • Dr. Hafidh Shaleh:

Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia.

  • Taqiyuddin An-Nabhani:

Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.

Sehingga dalam Konteks definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam adalah agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’ dalam konteks bahasa arab.

Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi (mabda’). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.

Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’).

Ibnu Sina mengemukakan masalah tentang ideologi dalam Kitab-nya "Najat", dia berkata:

"Nabi dan penjelas hukum Tuhan serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi pencapaian manusia akan kesempurnaan eksistensi manusiawinya, ketimbang tumbuhnya alis mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu sekali."

Tipe-Tipe Ideologi

Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.[1] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.

Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.

Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[2]

Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.

Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya­an: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a consti­tution is a document which contains the rules for the the operation of an organization[3]. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tum­buh[4] menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.[5]

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power[6] yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.

Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.[7] Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.

Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti­tutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words eng­rossed on parchment to keep a government in order”[8]. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede­mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme­rintahan dapat dibatasi dan dikendalikan seba­gai­mana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua­saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.

Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seper­ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an insti­tutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[9] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kese­pakatan (consensus), yaitu[10]:

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).

2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de­ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara.

Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme­rin­tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna­kan untuk itu adalah the rule of law yang dipelo­pori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggam­barkan pe­ngertian bah­wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.

Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam­barkan hanya sekedar bersifat instru­mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah consti­tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting se­hingga konstitusi sendiri dapat dija­dikan pegangan tertinggi dalam memutuskan sega­la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba­ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepa­kat­an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber­ke­naan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke­tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kese­pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam doku­men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran­cang dan perumus konstitusi tidak seharus­nya membayang­kan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus­nya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan un­dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemung­kinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.

Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.

Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.

Perbedaan Ideologi Pancasila dan Ideologi Komunis?

Ideologi Pancasila dan komunis dalam konteks Indonesia. Komunis ada dalam rejim Soekarno. Soekarno membawa PNI dan platform perjuangannya atau yang dibela-belai dalam hidupnya adalah Nasional, Agama dan komunis. Itu yang dimaksud Presiden Soekarno sebagai tiga kaki. Apa Itu? Selama ada tiga kaki, maka posisinya kuat, didoakan ustad maksudnya. Tetapi kalau satu kaki tidak ada, maka kekuatannya menjadi tidak ada. Mana yang paling disukai? Dia mengharap semuanya mendukung dia. Ke mana tentara? Itu soal lain. Ini yang menjadi masalahnya.

Cakrabirawa. Apa itu? Itu adalah satu unit tentara khusus dengan tugas khusus sebagai tentara pengawal presiden. Oentoeng. Kolonel Oentoeng adalah Komando Unit tersebut. Dia mempunyai niat dalam rapat yang jahat bagaikan kepingan gelapnya gulita malam. Apa yang dituju? Dewan jenderal.

Apa itu dewan jenderal? Dewan jenderal adalah isu yang mengarah kepada para elite tentara, jenderal dan para calon jenderal, yang dianggap tidak mempunyai rasa keberpihakkan kepada rakyat jelata, tetapi sangat suka berfoya-foya dengan gaya barat atau Amerika. Inilah yang di arah untuk dihancurkan oleh Oentoeng.

Siapa itu Oentoeng, Oemar Dhani? Ya itu komunis. Komunis Indonesia. Komunis ini di bawah salah satu kaki dari tiga itu. Anak asuh nya Soekarno. Tanpa se pengetahuan "Bapaknya" mereka bergerak untuk menculik dan mengejar, menangkap dan membunuh para elite tentara dan anak buahnya. Inilah yang dinamakan G 30 S PKI.

Pancasila. Jadi ingat almarhum Soeharto. Apakah ada hubungannya? Soeharto dengan pangkat mayor jenderal mencari, mengejar, menangkap dan membunuh pki dan kaki tangannya. Berderak sampai kekampung-kampung jawa. Darah. Air sungai menjadi sungai darah. PKI digorok oleh Islam disungai-sungai pantura. PKI musnah kecuali kalauTuhan berkehendak lain. Selesai? Tidak, justru ini menjadi persoalan yang berikutnya.

Pancasila hidup dalam periode ini. Soeharto bukan pencetus nya. tetapi menghidupkan menjadi darah daging elemen bangsa, kalau bisa, sampai keakar-akarnya. Indonesia bukan cuma berbahasa Indonesia tetapi juga secara otomatis dia adalah juga seorang pancasilais, pendukung pancasila. Itu harus. Kalau tidak ya dikejar-kejar. Ditangkap, dimasukkan kepenjara lalu dipaksa bahwa Pancasila itu adalah pandangan hidupnya.

Apa itu ideologi? Apakah Pancasila dan komunis Ideologi? Komunis sudah dead alias mati. Mati selamanya. Bahkan pernah hidup pun tidak pernah. Yang menganggap ada sudah di azab oleh Allah dalam tetakkan pertama. Musnah. Sekarang tinggal satunya lagi. Pancasila apakah ideologi?

Surat ALI IMRON (3) ayat:

0159 " ...Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan lah ampun bagi mereka, dan bermusywaralah dengan mereka dalam urusan itu..."

Para elite politik bermusyawarah bagaimana cara mengurus bangsa dan negara ini. Salah satunnya adalah Pancasila. Pancasila dianggap dipilih dengan suara bulat oleh komponen bangsa untuk menjadi landasan negara kita. Saya ditanya enggak? Entah lah, mungkin bapak kamu sudah ditanya dulu-dulunya. Itulah yang dinamakan Ideologi. Musyawarah. Setelah itu jadilah negara. Negara yang bagaimana?

Surat AN NISSA (4) ayat:

059 " Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya"

Itulah yang disebut negara. Pancasila punya negara dan negara diatur oleh ulil amri (pemerintah). Oleh karena itu kita harus patuh kepada Pancasila. Kalau kita patuh kepada Pancasila berarti kita patuh kepada ulil amri. Selesai? Belum, masih jauh.

Kita baca bagian ayat tersebut" jika kamu berlain nan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah". Berantem. Berantem tentang Pancasila. Apakah Pancasila itu betul atau tidak betul dalam agam Islam. Kalau tidak betul ia harus diganti dengan yang sesuai dengan Islam. Kalau sesuai Islam, maka mau tidak mau kita harus taat kepada Allah, taat kepada Rasul, dan taat kepada pemerintah. Kalau kita taat kita mendapat pahala dari Allah.

Sekarang apakah pancasila sudah sesuai dengan Islam. Banyak hal yang dipertanyakan. Tetapi dalam pandangan saya, Pancasila sudah dalam beberapa derajat, dalam beberapa ukuran sudah sesuai dengan Islam. Dalam masyarakat Islam terbesar, itulah yang disebut ideologi.