Sabtu, 28 November 2009

TUGAS II

ANALISIS TENTANG NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

Demokrasi dan Negara Hukum
Negara hukum menurut Nukhtoh Arfawie Kurde, adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat (dewan Perwakilan Rakyat). Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berdasrkan hukum. Menurutnya, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Negara demokrasi menurut Mohd. Mahfud MD, dalam bukunya Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi menyatakan bahwa negara hukum adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Immanuel Kant menggambarkan negara hukum sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat jangan diganggu atau dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan. Teori pemikiran Immanuel Kant ini dapat dikatakan sebagai teori pemikiran negara hokum liberal.
Internasional Commision of Juris yang merupakan suatu organisasi hokum internasional, dala konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, mengadakan perumusan kembali terhadap perumusan negara hokum yang telah berkembang sebelumnya, terutama konsep the rule of law, dengan memperbaiki aspek dinamika dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks itu dirumuskan tentang pengertian dan syarat bagi suatu negara hokum/pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law sebagai berikut :
1. adanya proteksi konstitusional
2. pengadilan yang bebas dan tidak memihak
3. pemilihan umum yang bebas dan tidak memihak
4. kebebasan untuk menyatakan pendapat
5. kebebasan berserikat/beroranisasi dan beroposisi
6. pendidikan kewarganegaraan.

Membahas tentang negara hokum juga tidak terlepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Adapun hubungan negara hokum dan demokrasi menurut Mohd. Mahfud MD, pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hokum-hukum yang berwatak dan berkarakter deokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter atau non demokratis akan lahir hokum-hukum non demokratis.

Peran Negara
Negara berdasarka teori kemunculannya adalah merupakan alat kekuasaan yang mempunyai kekuatan memaksa untuk menjalankan kewajibanya terhadap masyarakat. Negara dalam melaksanakan tugas dan perannya tentunya tidak terlepas dari interaksi dengan masyarakat. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara mempunyai kekuatan untuk memaksa bagi siapa saja. Negara tidak akan berjalan bila tidak ada aparatur pemerintahannya. Dengan kata lain negara berada dalam keadaan mati atau diam.
Dalam realitasnya peran negara dipengaruhi oleh kepentingannya dalam usaha pengembangan ekonomi. Negara dapat melakukan kekerasan dalam mewujudkan kepentingannya. Teori negara hokum sendiri dipengaruhi oleh langkah gerak laju negara dalam mewujudkan kepentingan ekonominya. Dalam negara huum liberal, menyatakan bahwa negara haruslah pasif, artinya bahwa peran negara hanya sebagai penjaga malam. Sedangkan dalam usaha kesejahteraa masyarakat negara tidak perlu untuk ikut campur di dalamnya.
Adam Smith melalui teori ekonominya mengatakan bahwa negara tidak boleh mengintervensi dalam kepentingan masyarakat dalam usahanya untuk melakukan aktifitas eknomi, menurutnya pengatura ekonomi akan diatur dengan sendiri oleh tangan-tangan yang tidak tampak (the invisible hands) artinya menurut teori ini, biarkan sendiri pasar yang akan mengatur tentang ekonomi masyarakat.
Lain halnya dengan teori negara hokum materiil, teori ini dipengaruhi oleh pemikran-pemikiran sosialis. Menurut teori ini negara berkewajiban dalam hal kesejahteraan masyarakat, atau dengan kata lain bahwa negara mempunyai peran dalam hal untuk mencampuri perekonomian masyarakat untuk mencapai tujuannya demi kesejahteraan rakyat. Karena paham sosialis menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, akan menindas masyarakat yang tidak berdaya. Oleh karena itu diperlukan campur tangan dari negara untuk mencegah terjadinya kesewenangan yang akan terjadi pada masyarakat lemah. Pemikiran sosialis ini muncul manakala berkembangnya paham kapitalis yang dianggap dapat menindas bagi mereka yang lemah dan tidak memiliki kekuatan (kekuasaan). Untuk menjalankan kepentingannya negara dapat menggunakan instrumen-instrumen hukumnya, yang dapat dipaksakan bagi masyarakat.
Kekerasan dapat saja dilakukan oleh negara untuk mencapai kepentingannya tersebut. Pengaruh yang cukup besar dalam arah kebijakan negara adalah adanya keberpihakan negara pada kelompok-kelompok tertentu.

Masuknya Kapitalisme ke Indonesia
Kapitalisme yang berwatak dengan adanya akumulasi kapita, telah membuat negara ini mengaami krisis akan lahan ekonomi. Akhirnya ekspansi pasar pun dilaukan utuk terus bertahan. Kapitalisme dapat menggunakan peran negara dan hokum untuk untuk melegitimasi kekuasaannya. Selain itu, metamorfosa yang diakukannya teah menjadikan kontradiksi yang semakin tumpul alam realita social dan politik. Ekspansi yang dilakukannya, telah memaksa untuk melakukan usaha-usaha kolonialisasi di negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang. Dampak dari ekspansi yang dilakukan sampai kepada bentuk kekerasan yang nyata.
Masuknya Belanda ke Indonesia, adalah seagai betuk ekspansi kekuasaan yang dilakukan oleh negara kapitalis untuk mencapai keinginannya tersebut. Perang secara ideology bermunculan ketika abad ke 17. penjajahan adalah merupakan bentuk dari kekerasan yang sangat nyata dilakukan demi mencapai kepentingannya.
Sejak abad ke-19, institusi-institusi negara didirikan untuk kekerasan, dan karenanya, ekspansi kolonialisme ke Indonesia pun sarata dengan penggunaan kekerasan. Menurut Norholt, ada dua gelombang besar kekerasan Belanda yang diinstitusionalkan ke Indonesia, yakni; (1) akhir abad ke-17 ketika VOC memonopoli perdagangan dengan menaklukkan kawasan-kawasan strategis seperti Malaka, Makassar dan Banten. Dibandingkan dengan Portugis, misalnya VOC lebih banyak menggunakan kekerasan destruktif untuk menancapkan hegemoninya.
Kedua, gelombang kekerasan kedua terjadi antara tahun 1871 dan 1910, Indonesia mengalami ekspansi imperialisme dari peraturan kolonial. Pada periode ini, perlawanan rakyat sangat besar atas kekerasan yang dilakukan oleh kolonial Belanda karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan kapitalismenya. Pasca Belanda keluar dari Kolonial karena di usir oleh Jepang, Belanda terus mempertahankan ideologinya dengan mendapatkan bantuan dari negara yang sama-sama memiliki ideology yang sama, yakni sekutu. Munculnya tentara NICA yang memboncengi kembali Belanda ke Indonesia adalah bukti bahwa semangat kapitalisme untuk menguasai negara dunia ke tiga (3) sangatlah besar.
Soeharto dengan regulasinya, mempertahankan adanya investasi asing demi kepentingan untuk pembangunan. Melalui undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA), adalah salah satu bentuk bahwa kapitalisme terus mencoba mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Akibat eksploitasi alam yang cukup besar, menyebabkan terjadinya ketimangan secara social yang terjadi pada daerah-daerah yang didirikan investasi asing tersebut.
Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh serta Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah merupakan bukti keburukan dari kebijakan kapitalisme. Soeharto terus mempertahankan investasi asing dengan menggunakan unsure aparatur negaranya. Sehingga pemerintahannya dikatakan sebagai pemerintahan yang otoriter. Tidak adanya kompromi terhadap para pihak yang dapat mengganggu kepentingan kekuasaannya. Pendekatan secara militeristik kerap dilakukan apabila ada pihak-pihak yang dapat mengancam kekuasaannya.

Peran Kontrol Media
Media massa adalah merupakan produk yang dibuat untuk kepentingan publik. Media berfungsi sebagai alt kontrol kekuasaan. Pada masa Orde Baru, media tidak bebas dalam perannya untuk menyuarakan kepentingan publik. Pada masa Orde Baru media diarahkan untuk tidak bisa bebas. Media yang dapat mengancam kekuasaan negara, mengalami baying-bayang akan adanya pembredelan.
Pada masa Orde Baru, media terus dikontrol oleh Departemen Penerangan. Bagi media-media yang tidak “patuh”, ancaman akan menyertai mereka. Tempo, Detik dan beberapa media massa lainnya yang pernah dicabut izinnya adalah merupakan wujud dari kekerasan negara yang dilakukan terhadap media. Terkekangnya peran media menjadikan mereka terpaksa harus mau “bekerjasama” dengan pemerintahan yang berkuasa.
Namun, pada masa Orde Baru tumbang, Pers semakin bebas dalam melakukan aktifitasnya. Kebebasan Pers yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik ini, malah dalam realitanya tidak ada perkembangan yang signifikan. Bahkan, menurut, pemerintah Pers ketika masa reformasi sangat bebas, bahan menurut yang diutarakan oleh ketua Aliansi Jurnalis Independen, Bambang NBK, mengatakan bahwa “dengan adanya undang-undang pers sekarang ini sebetulnya terlalu memberikan kebebasan kepada pers, sehingga selalu ada saja suara-suara dari pemerintah untuk melakukan amndemen itu. Dulu semasa Megawati berkuasa, dia berkali-kali mengatakan bahwa pers sudah kebablasan, nah ini adalah indikasi bahwa sebetulnya pemerintah juga agak gerah ketika setiap hari mereka mendapat kritikan dari media massa” ujarnya kepada keadilan.
Masduki menyakan bahwa idealnya pers itu menjadi Watch dog atau anjing penjaga, artinya bahwa ia menjadi pengontrol setiap kebijakan dari pemerintah. “media harus bisa menjadi watch dog untuk mengkritisi kebijakan negara,” ujar Masduki yang sekaligus sebagai Dosen Komunikasi UII ini. Menurut Masduki media harus berpihak kepada nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
Kebebasan yang ada pada media, namun tidak diikuti dengan upaya untuk membangun kapsitas demokrasi yang semakin membaik. Di satu sisi, peran media masih terus dipertahankan kebebasannya. Adanya kebebasan ini justru peran media larut dengan tayangan-tayangan yang justru menguntungkan medianya secara ekonomi. Media, seharusnya berpihak pada kepentingan umum (publik), idealnya seperti itu. “jadi dia (media) ada utuk memberikan informasi kepada masyarakat, supaya masyarakat itu dapat membuat kebijakan untuk mengatur dirinya sendiri, inti daripada jurnalisme itu sebenarnya” ungkap Bambang yang sekaligus sebagai ketua AJI ini.
Dengan adanya kebebasan pers, semakin banyak realitas yang kita lihat justru tidak memberikan pengaruh yang positif bagi masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya acara-acara yang justru tidak untuk kepentingan publik, tetapi lebih kepada privasi dan sensasional semata. Misalnya adanya tayangan-tayangan infotainmen yang semakin membuat masyarakat larut dalam konstruksi pemikiran media. Selain karena menguntungkan bagi perusahaan, juga media terlarut dengan adanya kebebasn pers tersebut. Aliansi Jurnalis Indepenen (AJI) menilai bahwa infotainment adalah bukan produk Jurnalistik. “kalau kami AJI sepakat bahwa infotainment itu bukan produk jurnalistik, karena infotainment itu tidak menggali apa yang menjadi kepentingan publik” Ujar Bambang saat ditemui di kantornya. “Jadi jurnalisme itu sebenarnya hanya memberitakan persoalan-persoalan yang menjadi kepentingan publik” tambahnya lagi.
Adanya kepemilikan modal pada media juga telah menjadikan media hanya mementingkan persoalan yang menguntungkan terhadap perusahaannya. Secara kasus, kita melihat media-media yang tidak mau memberitakan yang terkait dengan perusahaannya. Letak independensinya kemudian dipertanyakan dalam hal ini. Terkait dengan independensi dari media, AJI menilai bahwa independesi harus dilihat per kasus, karena menurutnya, independensi itu ibarat ruangan yang besar yang banyak ruang-ruangnya. Bambang mencontohkan, “di Bali ada sebuah Koran yang termasuk dalam keluarganya Bakrie Group, Koran itu tidak pernah menulis tentang persoalan Lapindo. Itu kasus, tetapi di ruang yang lain misalnya untuk mengkritisi bagaimana kebijakan pemerintah di Bali, mungkin ia independen. Jadi independen tidak dapat dilihat secara umum tapi kasus per kasus” ujarnya.

PERWUJUDAN NEGARA HUKUM DI INDONESIA


Di dalam negaa hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan.
Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
• Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
• Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
• Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
• Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
• Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
• Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
• Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen), kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.

Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.

Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
• Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana ter-akhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.